Kewaspadaan Universal Cuci Tangan
William makepace Thackeray(1811-1863)
Kewaspadaan Universal Cuci Tangan
Kewaspadaan
Universal (Universal Precaution)
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Nosokomial berasal dari kata Yunani nosocomium, yang berarti rumah sakit. Maka, kata nosokomial artinya "yang berasal dari rumah sakit" kata infeksi cukup jelas artinya, yaitu terkena hama penyakit. Menurut Patricia C Paren, pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika pada saat masuk belum mengalami infeksi kemudian setelah dirawat selama 48-72 jam klien menjadi terinfeksi Infeksi nosokomial bisa bersumber dari petugas kesehatan, pasien yang lain, alat dan bahan yang digunakan untuk pengobatan maupun dari lingkungan rumah sakit.4
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar berikut), yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu masuk ke tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi (terutama ODHA yang mempunyai sistem kekebalan yang lemah), mereka dapat tertular dan jatuh sakit tambahan. Selanjutnya, kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.4,6,7
Pada 1847, seorang dokter bernama Ignaz Semmelweis bekerja di bagian kebidanan di sebuah rumah sakit di Vienna, Austria. Semmelweis mengamati bahwa angka kematian di antara ibu di bangsal yang dilayani oleh mahasiswa kedokteran tiga kali lebih tinggi dibandingkan bangsal yang dilayani oleh bidan. Semmelweis mendalilkan bahwa hal ini terjadi karena mahasiswa langsung ke bangsal kebidanan setelah belajar otopsi (bedah mayat), dan membawa infeksi dari mayat ke ibu yang melahirkan. Dia memerintahkan dokter dan mahasiswa untuk mencuci tangannya dengan larutan klorin sebelum memeriksakan ibu tersebut. Setelah aturan ini diterapkan, angka kematian menurun menjadi serupa dengan bangsal yang dilayani oleh bidan.4,5
Dengan masalah infeksi nosokomial menjadi semakin jelas, dicari kebijakan baru untuk menguranginya. Solusi pertama pada 1877 adalah mendirikan rumah sakit khusus untuk penyakit menular. Pengenalan sarung tangan lateks pada 1887 membantu mengurangi penularan. Tetapi dengan peningkatan mortalitas (angka kematian) di 1960-an, Departemen Kesehatan di Amerika Serikat pada tahu 1970 mengeluarkan kebijakan untuk mengisolasikan semua pasien yang diketahui tertular infeksi menular. Namun kebijakan ini kurang berhasil serta menimbulkan banyak masalah lain. Perhatian pada masalah ini menjadi semakin tinggi dengan munculnya HIV pada 1985, kebijakan kewaspadaan universal dikenalkan pada 1985.4,5
Sesuai dengan kebijakan ini yang dikembangkan pada 1970, semua pasien yang diketahui terinfeksi penyakit menular melalui tes wajib diisolasi. Kebijakan ini menentukan tujuh kategori isolasi berdasarkan sifat infeksinya (daya menular, ganas, dll.). Kewaspadaan khusus (sarung tangan dsb) dengan tingkat yang ditentukan oleh kategori hanya dipakai untuk pasien ini.4,5
Teknik isolasi mengurangi jumlah infeksi nosokomial, tetapi timbul beberapa tantangan:4
• Peningkatan dalam jenis dan jumlah infeksi menular, sehingga semakin banyak tes harus dilakukan, dan semakin banyak pasien harus diisolasi
• Hasil tes sering diterima terlambat, sering setelah pasien pulang
• Biaya sangat tinggi, bila semua orang dites untuk setiap infeksi
• Stigma dan diskriminasi meningkat bila hanya pasien yang dianggap berisiko tinggi dites untuk menenkankan biaya
• Hasil tes dapat negatif palsu (hasil negatif walau terinfeksi), terutama dalam masa jendela, dengan akibat petugas layanan kesehatan kurang waspada
• Sebaliknya hasil tes positif palsu (hasil positif walau tidak terinfeksi), dengan akibat kegelisahan untuk pasien dan petugas layanan kesehatan
• Perhatian pada hak asasi mengharuskan pasien memberi informed consent (disertai oleh konseling untuk HIV).
Sejak AIDS diketahui, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal (KU) dikembangkan. Kebijakan ini menganggap bahwa setiap darah dan cairan tertentu lain dapat mengandung infeksi, tidak memandang status sumbernya. Lagi pula, semua alat medis harus dianggap sebagai sumber penularan, dan penularan dapat terjadi pada setiap layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi dan persalinan, pada setiap tingkat (klinik dan puskesmas sampai dengan rumah sakit rujukan). Harus ditekankan bahwa kewaspadaan universal dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat parah dan sebetulnya lebih mudah menular, misalnya virus Hepatitis B dan C. Petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien.4,5
Kita biasanya menganggap cairan yang dapat menular HIV sebagai darah, cairan kelamin dan ASI saja. Namun ada cairan lain yang dapat mengandung kuman lain, dan dalam sarana kesehatan, lebih banyak cairan tubuh biasanya tersentuh. Contohnya, walaupun tinja tidak mengandung HIV, cairan berikut mengandung banyak kuman lain nanah, cairan ketuban, cairan limfa, ekskreta (air seni, tinja).5
Kewaspadaan universal merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan. Upaya lain yang merupakan komponen pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan adalah surveilans, upaya penanggulangan KLB, pengembangan kebijakan dan prosedur kerja serta pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan dalam hal pencegahan infeksi yang tidak dapat dipisah-pisahkan.4,5
Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prosedur Kewaspadaan Universal ini juga dapat dianggap sebagai pendukung progran K3 bagi petugas kesehatan.5
Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Universal pelayanan kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi 5 (lima) kegiatan pokok yaitu:5
1. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
2. Pemakaian alat pelindung di antaranya pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain
3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
5. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan
Cuci Tangan
Mikroorganisme pada kulit manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu flora risiden dan flora transien. Flora risiden adalah mikroorganisme yang secara konsisten dapat diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah dihilangkan dengan gesekan mekanis yang telah beradaptasi pada kehidupan tangan manusia. Flora transien yang disebut juga flora transit atau flora kontaminasi, jenisnya tergantung dari lingkungan tempat bekerja. Mikroorganisme ini dengan mudah dapat dihilangkan dari permukaan dengan gesekan mekanis dan pencucian dengan sabun atau deterjen. Oleh karena itu cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang paling penting.5
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan.5
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Nosokomial berasal dari kata Yunani nosocomium, yang berarti rumah sakit. Maka, kata nosokomial artinya "yang berasal dari rumah sakit" kata infeksi cukup jelas artinya, yaitu terkena hama penyakit. Menurut Patricia C Paren, pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika pada saat masuk belum mengalami infeksi kemudian setelah dirawat selama 48-72 jam klien menjadi terinfeksi Infeksi nosokomial bisa bersumber dari petugas kesehatan, pasien yang lain, alat dan bahan yang digunakan untuk pengobatan maupun dari lingkungan rumah sakit.4
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar berikut), yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu masuk ke tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi (terutama ODHA yang mempunyai sistem kekebalan yang lemah), mereka dapat tertular dan jatuh sakit tambahan. Selanjutnya, kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.4,6,7
Pada 1847, seorang dokter bernama Ignaz Semmelweis bekerja di bagian kebidanan di sebuah rumah sakit di Vienna, Austria. Semmelweis mengamati bahwa angka kematian di antara ibu di bangsal yang dilayani oleh mahasiswa kedokteran tiga kali lebih tinggi dibandingkan bangsal yang dilayani oleh bidan. Semmelweis mendalilkan bahwa hal ini terjadi karena mahasiswa langsung ke bangsal kebidanan setelah belajar otopsi (bedah mayat), dan membawa infeksi dari mayat ke ibu yang melahirkan. Dia memerintahkan dokter dan mahasiswa untuk mencuci tangannya dengan larutan klorin sebelum memeriksakan ibu tersebut. Setelah aturan ini diterapkan, angka kematian menurun menjadi serupa dengan bangsal yang dilayani oleh bidan.4,5
Dengan masalah infeksi nosokomial menjadi semakin jelas, dicari kebijakan baru untuk menguranginya. Solusi pertama pada 1877 adalah mendirikan rumah sakit khusus untuk penyakit menular. Pengenalan sarung tangan lateks pada 1887 membantu mengurangi penularan. Tetapi dengan peningkatan mortalitas (angka kematian) di 1960-an, Departemen Kesehatan di Amerika Serikat pada tahu 1970 mengeluarkan kebijakan untuk mengisolasikan semua pasien yang diketahui tertular infeksi menular. Namun kebijakan ini kurang berhasil serta menimbulkan banyak masalah lain. Perhatian pada masalah ini menjadi semakin tinggi dengan munculnya HIV pada 1985, kebijakan kewaspadaan universal dikenalkan pada 1985.4,5
Sesuai dengan kebijakan ini yang dikembangkan pada 1970, semua pasien yang diketahui terinfeksi penyakit menular melalui tes wajib diisolasi. Kebijakan ini menentukan tujuh kategori isolasi berdasarkan sifat infeksinya (daya menular, ganas, dll.). Kewaspadaan khusus (sarung tangan dsb) dengan tingkat yang ditentukan oleh kategori hanya dipakai untuk pasien ini.4,5
Teknik isolasi mengurangi jumlah infeksi nosokomial, tetapi timbul beberapa tantangan:4
• Peningkatan dalam jenis dan jumlah infeksi menular, sehingga semakin banyak tes harus dilakukan, dan semakin banyak pasien harus diisolasi
• Hasil tes sering diterima terlambat, sering setelah pasien pulang
• Biaya sangat tinggi, bila semua orang dites untuk setiap infeksi
• Stigma dan diskriminasi meningkat bila hanya pasien yang dianggap berisiko tinggi dites untuk menenkankan biaya
• Hasil tes dapat negatif palsu (hasil negatif walau terinfeksi), terutama dalam masa jendela, dengan akibat petugas layanan kesehatan kurang waspada
• Sebaliknya hasil tes positif palsu (hasil positif walau tidak terinfeksi), dengan akibat kegelisahan untuk pasien dan petugas layanan kesehatan
• Perhatian pada hak asasi mengharuskan pasien memberi informed consent (disertai oleh konseling untuk HIV).
Sejak AIDS diketahui, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal (KU) dikembangkan. Kebijakan ini menganggap bahwa setiap darah dan cairan tertentu lain dapat mengandung infeksi, tidak memandang status sumbernya. Lagi pula, semua alat medis harus dianggap sebagai sumber penularan, dan penularan dapat terjadi pada setiap layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi dan persalinan, pada setiap tingkat (klinik dan puskesmas sampai dengan rumah sakit rujukan). Harus ditekankan bahwa kewaspadaan universal dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat parah dan sebetulnya lebih mudah menular, misalnya virus Hepatitis B dan C. Petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien.4,5
Kita biasanya menganggap cairan yang dapat menular HIV sebagai darah, cairan kelamin dan ASI saja. Namun ada cairan lain yang dapat mengandung kuman lain, dan dalam sarana kesehatan, lebih banyak cairan tubuh biasanya tersentuh. Contohnya, walaupun tinja tidak mengandung HIV, cairan berikut mengandung banyak kuman lain nanah, cairan ketuban, cairan limfa, ekskreta (air seni, tinja).5
Kewaspadaan universal merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan. Upaya lain yang merupakan komponen pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan adalah surveilans, upaya penanggulangan KLB, pengembangan kebijakan dan prosedur kerja serta pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan dalam hal pencegahan infeksi yang tidak dapat dipisah-pisahkan.4,5
Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prosedur Kewaspadaan Universal ini juga dapat dianggap sebagai pendukung progran K3 bagi petugas kesehatan.5
Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Universal pelayanan kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi 5 (lima) kegiatan pokok yaitu:5
1. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
2. Pemakaian alat pelindung di antaranya pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain
3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
5. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan
Cuci Tangan
Mikroorganisme pada kulit manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu flora risiden dan flora transien. Flora risiden adalah mikroorganisme yang secara konsisten dapat diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah dihilangkan dengan gesekan mekanis yang telah beradaptasi pada kehidupan tangan manusia. Flora transien yang disebut juga flora transit atau flora kontaminasi, jenisnya tergantung dari lingkungan tempat bekerja. Mikroorganisme ini dengan mudah dapat dihilangkan dari permukaan dengan gesekan mekanis dan pencucian dengan sabun atau deterjen. Oleh karena itu cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang paling penting.5
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan.5
1. Syamsudin M S. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. :
PER.05/MEN/1996
Tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Departemen
Tenaga Kerja R.I Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Pengawasan Ketenagakerjaan.Jakarta.1998.h. 153-194
2. Supari S F. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesian Nomor
432/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
2007.h.1-15
3. www.gdl-lib@litbang.depkes.go.id.Analisis Hubungan Faktor Higiene
Perseorangan dengan Kejadian Infeksi Nosokomial pada Tindakan
Pemasangan Jarum Infus di RSUD Kota Cilegon.2005.PascaSarjana
UI.Depok Jawa Barat.Februari 2007
4. Pengaruh Cara Mencuci Tangan terhadap Perubahan Jumlah Koloni Kuman
Pada Paramedis di RSU Semarang (2001 – Skripsi)
Oleh : Wulandari – E2a096053
5. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal.Yayasan Spiritia.Desember
2007
Tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Departemen
Tenaga Kerja R.I Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Pengawasan Ketenagakerjaan.Jakarta.1998.h. 153-194
2. Supari S F. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesian Nomor
432/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
2007.h.1-15
3. www.gdl-lib@litbang.depkes.go.id.Analisis Hubungan Faktor Higiene
Perseorangan dengan Kejadian Infeksi Nosokomial pada Tindakan
Pemasangan Jarum Infus di RSUD Kota Cilegon.2005.PascaSarjana
UI.Depok Jawa Barat.Februari 2007
4. Pengaruh Cara Mencuci Tangan terhadap Perubahan Jumlah Koloni Kuman
Pada Paramedis di RSU Semarang (2001 – Skripsi)
Oleh : Wulandari – E2a096053
5. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal.Yayasan Spiritia.Desember
2007
sumber : http://arbaa-fivone.blogspot.com/2009/02/kewaspadaan-universal-cuci-tangan.html