Sejarah Berdirinya Palang Merah Indonesia (PMI)
Berdirinya
Perhimpunan Palang Merah Indonesia (PMI) sebenarny sudah dimulai sejak masa
sebelum Perang Dunia Ke-II. Saat itu, tepatnya pada 21 Oktober 1873 pemerintah
Kolonial Belanda mendirikan organisasi Palang Merah di Indonesia dengan nama
Het Nederland-Indische Rode Kruis (NIRK) yang kemudian berubah menjadi
Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (NERKAI). Seiring dengan pergeseran waktu,
timbul semangat untuk mendirikan PMI tepatnya diawali sekitar 1932. Rencana
pendirian dipelopori oleh dr. RCL Senduk dan dr. Bahder Djohan. Rencana itu
mendapat dukungan luas terutama dari kalangan terpelajar Indonesia. Mereka
berusaha keras membawa rancangan tersebut dalam Sidang Konferensi NERKAI pada
1940 walaupun akhirnya ditolak. Dengan sangat terpaksa, rancangan tersebut
disimpan untuk menanti kesempatan yang lebih tepat. Seperti tak kenal menyerah,
saat pendudukan Jepang mereka kembali mencoba untuk membentuk suatu Badan
Palang Merah Nasional. Namun gagal juga karena mendapat halangan dari
pemerintah tentara Jepang sehingga untuk kedua kalinya rancangan itu pun harus
disimpan. Akhirnya momentum datang. Tepat tujuh belas hari setelah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yaitu pada 3 September 1945, Presiden Soekarno
mengeluarkan perintah untuk membentuk suatu Badan Palang Merah Nasional. Atas
perintah Presiden, maka dr. Buntaran yang saat itu menjabat Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Kabinet I, membentuk panitia lima pada 5 September 1945.
Panitia itu terdiri atas: dr. R. Mochtar (Ketua), dr. Bahder Djohan (Penulis),
serta tiga orang anggota, yaitu dr. Djuhana, dr. Marzuki dan dr. Sitanala.
Akhirnya pada 17
September 1945, Perhimpunan PMI berhasil dibentuk dan diketuai oleh Drs.
Mohammad Hatta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Pasca
pembentukan, PMI mulai merintis kegiatannya dengan memberi bantuan korban
perang revolusi kemerdekaan Indonesia dan pengembalian tawanan perang sekutu
maupun Jepang. PMI terus melakukan kegiatan pemberian bantuan hingga akhirnya
melalui Keputusan Presiden (Keppres) RIS (Keppres) Nomor 25 tanggal 16 Januari
1950 yang diperkuat dengan Keppres Nomor 246 tanggal 29 November 1963,
Pemerintah Indonesia mengakui keberadaan PMI. Secara Internasional pada 15 Juni
1950, keberadaan PMI diakui oleh Komite Internasional Palang Merah (International
Committee of the Red Cross) atau disingkat ICRC. Setelah itu PMI
diterima menjadi anggota Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Liga Perhimpunan
Palang Merah pada 16 Oktober 1950.
Berikut adalah nama-nama tokoh yang pernah menjabat Ketua
PMI:
1. Ketua PMI I (1945-1946) : Drs. Mohammad Hatta
2. Ketua PMI II (1946-1948) : Soetardjo Kartohadikoesoemo
3. Ketua PMI III (1948-1952) : BPH. Bintoro
4. Ketua PMI IV (1952-1954) : Prof. Dr. Bahder Djohan
5. Ketua PMI V (1954-1966) : K.G.P.A.A. Paku alam VIII
6. Ketua PMI VI (1966-1969) : Letnan Jenderal Basuki
Rachmat
7. Ketua PMI VII (1970-1982) : Prof. Dr. Satrio
8. Ketua PMI VIII (1982-1986) : Dr. H. Soeyoso
Soemodimedjo
9. Ketua PMI IX (1986-1994) : Dr. H. Ibnu Sutowo
10. Ketua PMI X (1994-1999) : Dra. Siti Hardiyanti
Rukmana
11. Ketua PMI XI (1999- ) : Mar’ie Muhammad
Perhimpunan PMI adalah lembaga sosial
kemanusiaan yang netral dan mandiri yang didirikan dengan tujuan meringankan
penderitaan sesama manusia, apapun sebabnya dengan tidak membedakan agama,
bangsa, suku bangsa, bahasa, warna kulit, jenis kelamin, golongan dan pandangan
politik.
II.
Peran PMI
Tugas pemerintah
yang diserahkan kepada PMI adalah:
1) Tugas–tugas yang erat hubungannya dengan
Konvensi Jenewa dan ketentuan-ketentuan Federasi Internasional Perhimpunan
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), sebagai lembaga yang menghimpun
keanggotaan perhimpunan nasional.
2) Tugas khusus untuk melakukan tugas
pelayanan transfusi darah berupa pengadaan, pengolahan dan penyediaan darah
yang tepat bagi masyarakat yang membutuhkan.
Prinsip bantuan PMI, yaitu:
a) Memberikan bantuan kepada korban
pertikaian bersenjata (berdasarkan Konvensi-Konvensi Jenewa 1949) dan korban
bencana alam yang dilaksanakan secara otonom sejalan dengan Prinsip Dasar Gerakan
dan bekerjasama dengan pemerintahnya.
b) Bantuan PMI bersifat darurat dan langsung
serta merupakan pendukung/pelengkap dari bantuan pemerintah.
III.
Hubungan PMI Dengan Institusi Lain
Pada dasarnya tidak
terdapat hubungan langsung antara PMI dengan institusi lain. Tetapi secara
tidak langsung hubungan antara PMI dengan institusi lainnya hanya dalam
koordinasi antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan, misalnya koordinasi
pembagian tugas dalam menangani suatu bencana atau musibah.
IV.
Cara Kerja / Kegiatan PMI
A.
Penanganan Bencana
a) Pra-Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada masa pra-bencana, antara
lain:
• Kesiapsiagaan
Adalah upaya-upaya yang memungkinkan masyarakat (individu,
kelompok, organisasi) dapat mengatasi bahaya peristiwa alam, melalui
pembentukan struktur dan mekanisme tanggap darurat yang sistematis. Tujuannya
adalah untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan saranasarana pelayanan
umum. Kesiapsiagaan Bencana meliputi: upaya mengurangi tingkat resiko, formulasi
Rencana Darurat Bencana (Disasters Plan), pengelolaan sumber-sumber daya
masyarakat, pelatihan warga di lokasi rawan bencana.
• Sistem
peringatan dini dan informasi manajemen bencana
Informasi-informasi yang diberikan kepada
masyarakat tentang kapan suatu bahaya peristiwa
alam dapat diidentifikasi dan penilaian tentang kemungkinan
dampaknya pada suatu wilayah tertentu.
• Mitigasi
Mitigasi adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan sejak awal untuk menghadapi suatu peristiwa alam dengan mengurangi atau
meminimalkan dampak peristiwa alam tersebut terhadap kelangsungan hidup manusia
dan lingkungan hidupnya (struktural). Upaya penyadaran masyarakat terhadap potensi
dan kerawanan (hazard) lingkungan dimana mereka berada, sehingga mereka dapat mengelola
upaya kesiapsiagaan terhadap bencana antara lain dengan cara:
o Pembangunan dam penahan banjir atau ombak
o Penanaman pohon bakau
o Penghijauan hutan
• Penyadaran risiko
dan dampak bencana
Penyadaran risiko dan dampak bencana
kaitannya dengan pengembangan KBBM (Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat)
atau disebut juga CBDP (Community Based Disaster Preparedness-), terutama di
wilayah rawan bencana. KBBM adalah program yang mengupayakan pemberdayaan kapasitas
masyarakat agar dapat mengambil inisiatif dan melakukan tindakan dalam meminimalkan
dampak bencana yang terjadi di lingkungannya. Hingga kini PMI telah
mengembangkan program berbasis masyarakat dalam bentuk Program
Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis
Masyarakat, disingkat PERTAMA (Integrated Community Based Risk
Reduction-ICBRR)
v PERTAMA adalah program berbasis masyarakat yang
mendorong pemberdayaan kapasitas ma- syarakat untuk menyiagakan diri dalam
mencegah serta mengurangi dampak dan risiko bencana yang terjadi di tempat
tinggalnya.
v PERTAMA diterapkan di daerah rawan banjir, longsor,
gempa, letusan gunung api, gelombang pasang dan tsunami.
v Sasaran utama program PERTAMA adalah
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam merespon dan menanggulangi dampak
bencana serta memperkuat kapasitas PMI dalam memberikan bantuan kepada korban
bencana tepat pada waktunya.
v Tujuan umum program PERTAMA adalah untuk mengurangi
kerentanan masyarakat yang rawan terhadap bahaya.
v Tujuan khusus pengembangan program PERTAMA, yaitu:
a) Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam tanggap
bencana dan mitigasi dampak dan bahaya.
b) Penguatan kapasitas PMI untuk memberikan bantuan yang
tepat waktu kepada masyarakat yang terkena bencana.
b) Saat Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada saat bencana
adalah merupakan kegiatan respon tanggap darurat berupa:
• Evakuasi korban
• Pertolongan pertama
• Penampungan darurat
• Pendirian dapur umum
• Penyediaan air bersih dan sanitasi
• Relief
c) Pasca Bencana
Pelaksanaan program rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana meliputi :
Rehabilitasi
Serangkaian kegiatan yang dapat membantu
korban bencana untuk kembali pada kehidupan normal yang kemudian diintegrasikan
kembali pada fungsi-fungsi yang ada di masyarakat, termasuk didalamnya adalah
mencakup:
• Penanganan korban trauma psikologis.
• Renovasi atau perbaikan sarana-sarana umum,
• Penyediaan perumahan dan tempat
penampungan.
• Penyediaan lapangan kegiatan untuk memulai hidup
baru.
• Program dukungan mata pencaharian (livelihood).
• Pemulihan Hubungan Keluarga atau disebut juga RFL (Restoring
Family Links)
Rekonstruksi
Adalah serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan situasi seperti sebelum terjadinya bencana, termasuk pembangunan
infrastruktur, menghidupkan akses sumber-sumber ekonomi, perbaikan lingkungan
dan pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada pembangunan. Tujuannya
adalah mengurangi dampak bencana yang berdampak pada pemberian manfaat secara ekonomis
pada masyarakat.
Berikut adalah Tahap Tanggap Darurat Bencana.
a) Kesiapsiagaan
individu
Kesiapsiagaan individu merupakan hal-hal yang
harus diperhatikan sebelum terlibat dalam tindakan tanggap darurat, karena
menyangkut keselamatan diri dan seluruh anggota lainnya. Termasuk didalam
Kesiapsiagaan individu adalah koordinasi penanggulangan bencana. Namun karena
hal ini dilakukan dalam setiap tahap tindakan tanggap darurat, maka koordinasi
penanggulangan bencana akan dibahas tersendiri.
b) Koordinasi
Penanggulangan Bencana
Koordinasi penanggulangan bencana adalah
segala bentuk komunikasi, baik komunikasi internal maupun eksternal yang
bertujuan untuk mendukung kegiatan penanggulangan bencana. Koordinasi dilakukan
dalam setiap tahapan pada tanggap darurat.
c) Assessment
Assessment adalah penilaian keadaan. Seperti koordinasi, assessment
juga dilakukan dalam setiap tahapan dalam tanggap darurat. Namun untuk
tindakan awal, yang harus dilakukan adalah assessment cepat (rapid
assessment) yang dilanjutkan dengan assessment detil (details
assessment).
d) Rencana
Operasi atau Service Delivery Plan (SDP) Rencana Operasi atau Service Delivery Plan adalah
sebuah perencanaan yang dibuat berdasarkan hasil dari assessment.
Rencana Operasi juga merupakan perwujudan dari Action Plan.
e) Distribusi
Bantuan
Distribusi Bantuan atau relief adalah
langkah berikutnya setelah SDP disetujui. Dalam distribusi bantuan juga terkait
mengenai masalah pergudangan.
f) Monitoring
dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi adalah metode untuk
memantau kegiatan. Secara garis besar, yang dipantau adalah kegiatan distribusi
bantuan, namun dapat juga melihat keseluruhan proses tanggap darurat.
Tujuan dari fase tanggap darurat adalah:
• Membatasi korban dan kerusakan
• Mengurangi penderitaan
• Mengembalikan kehidupan dan sistem
masyarakat
• Mitigasi kerusakan dan kerugian
• Sebagai dasar untuk pengembalian kondisi
Kebijakan Tanggap Darurat Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, meliputi:
a) Memberikan bantuan kepada golongan yang
paling rentan.
b) Berperan sebagai perpanjangan tangan dari
pelayanan sosial pemerintah.
c) Melaksanakan tanggap darurat sesuai dengan
Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
d) Bekerja sesuai dengan kompetensi palang
merah, namun tetap harus mengikutsertakan masyarakat penerima bantuan dalam
perencanaan dan pelaksanaan program.
e) Kegiatan berdasarkan pada perencanaan
kesiapsiagaan yang telah ditetapkan.
f) Bekerja sama dengan masyarakat untuk
ketahanan program.
g) Program darurat terus dilanjutkan hingga
ancaman sudah berkurang dan bila akan dilanjutkan maka lebih berfokus pada
kerangka mekanisme rehabiltasi.
h) Memaksimalkan keunggulan strategi Federasi
Internasional untuk memobilisasi semua sumber yang ada.
B. Pelayanan Sosial dan Kesehatan Masyarakat
Tujuan program
pelayanan sosial dan kesehatan masyarakat:
a) Menyediakan
respon cepat dan tepat saat bencana.
b) Berpartisipasi aktif dalam pencegahan
penyakit menular, misalnya HIV/AIDS, Flu Burung, Malaria, TBC, maupun Demam Berdarah
c) Meningkatkan
kapasitas masyarakat rentan melalui pendekatan (Community Based First Aid)
CBFA & memerhatikan faktor pencegahan melalui perbaikan hygiene, sanitasi,
dan gizi
d) Menyediakan
pelayanan sosial bagi kelompok rentan tertentu, misalnya bagi kelompok lanjut
usia (Lansia) dan anak jalanan (anjal)
e) Meningkatkan
kapasitas staf dan membina jaringan secara utuh dan kuat antar PMI Daerah dan
PMI Cabang Kegiatan pelayanan sosial dan kesehatan Masyarakat terbagi atas:
1) Pelayanan Sosial
Bantuan PMI dalam bentuk pelayanan atau jasa kepada masyarakat
yang memerlukan. Bantuan ini difokuskan pada upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat tersebut dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.
2) Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Bantuan PMI dalam bentuk jasa atau
upaya-upaya lain untuk memperbaiki perilaku kesehatan masyarakat, mendukung
kegiatan pelayanan kesehatan, pemberian pemulihan kesehatan, latihan dan
pendidikan dasar untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara kesehatannya. Pelayanan kesehatan
masyarakat diantaranya adalah:
a) Pelayanan kesehatan dengan komponen CBFAWater
Sanitation (air bersih & sanitasi).
Sejak 1999 PMI memusatkan perhatiannya pada kegiatan yang berbasis
masyarakat, salah satunya adalah CBFA serta program air bersih dan sanitasi.
PMI juga memusatkan perhatiannya pada tugas kesehatan masyarakat yang berkaitan
dengan kegiatan peningkatan kemandirian masyarakat.
b) Program kesehatan masyarakat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Pendidikan Remaja Sebaya (PRS) atau Youth Peer
Education. PRS merupakan upaya PMI dalam memberdayakan remaja secara
mandiri khususnya untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan.
c) Program kesehatan masyarakat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Pendidikan Wanita Sebaya (PWS) Women Peer Education.
PWS bertujuan mengembangkan ketrampilan hidup para wanita usia produktif (25-35
tahun) melalui pengalihan informasi dan pendidikan ketrampilan hidup diantara
wanita sebaya.
C. Pembinaan PMR dan Relawan
Pembinaan PMR dan Relawan dilakukan dalam
rangka meningkatkan kapasitas sumber daya PMI. Pembinaan dilakukan melalui
beragam kegiatan secara tepat, berkualitas dan mengandung nilai-nilai Gerakan. Sasaran
pembinaan untuk Palang Merah Remaja (PMR) meliputi anggota remaja pada tingkat
Mula, Madya dan Wira. Sedangkan untuk relawan meliputi anggota biasa yang
berada dalam wadah Korps Sukarela (KSR) dan Tenaga Sukarela (TSR). Pembinaan
untuk kalangan PMR terkonsentrasi di sekolah dan di tingkat PMI Cabang
setempat. Adapun untuk anggota yang bernaung dalam wadah KSR dibina di
lingkungan perguruan tinggi dan di lingkungan PMI Cabang setempat. Begitu pula
untuk TSR, ada yang dibina pada tingkat ranting (kecamatan) dan ada juga di
tingkat PMI Cabang.
Fase Pembinaan
KSR/TSR
Pembinaan relawan dilakukan secara periodik
dan sistematis di masing-masing PMI Cabang. Hal ini dilakukan untuk tetap
mempertahankan eksistensi, kualitas dan kapasitas anggota. Tentunya hal ini
merupakan langkah untuk mempersiapkan sumber daya manusia PMI yang selalu siap dalam
kondisi apapun, baik damai maupun saat bencana. Berikut adalah fase pembinaan
yang dilakukan untuk para Relawan PMI:
1) Rekrutmen.
Didasarkan pada syarat menjadi anggota dan prosedural yang dibuat tanpa
bertentangan dengan Prinsip Dasar Gerakan
2)
Pelatihan/orientasi
Setiap anggota baru wajib diberikan orientasi kepalangmerahan, baik itu
pengurus, staf maupun relawan.
3) Penugasan dan
mobilisisasi
Relawan PMI selalu siap secara sukarela untuk menjalankan tugas antara
lain:
a) Kesiapsiagaan bencana/konflik
(Preparedness).
b) Penanganan bencana/konflik (Response).
c) Pelayanan Sosial dan Kesehatan masyarakat.
d) Mengikuti pelatihan yang diselenggarakan
oleh PMI.
e) Ikut mengembangkan organisasi PMI,
misalnya sebagai:
•Fasilitator dalam pembinaan PMR.
•Relawan penggalangan dana untuk PMI Cabang.
•Pelatih dalam pelatihan (sesuai kompetensi yang dimiliki).
•Diseminator kepalangmerahan.
•Peserta forum/rapat penyusunan rencana kerja/ program.
4) Pengembangan
kapasitas
Dalam pengembangan kapasitas organisasi,
relawan memiliki kedudukan dan peran yang sangat vital, diantaranya:
a)
Unsur terdepan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
b)
Penggerak mesin organisasi yang sangat diperhitungkan.
c) Motivator penting dalam penetapan
kebijakan dan program PMI.
d) Berperan dalam forum relawan.
e) Berperan dalam proses penggalangan dana di
PMI Cabang atau PMI Daerah (Planning- Organizing- Actuating).
f) Sebagai pelatih atau fasilitator dalam
pelatihan PMR berdasarkan kompetensinya.
g) Bekerja sama dengan staf dalam melakukan pengembangan
PMR & Relawan.
Salah satu aspek
yang paling menonjol dan membedakan Gerakan dengan organisasi lainnya adalah relawan.
Keberadaan yang kuat dari relawan dalam organisasi bukan hanya membedakan tapi
juga menjadi keunggulan komperatif dari Gerakan.
Berikut adalah keunggulan mendasar bagi
organisasi untuk mengoptimalkan peran relawan, yaitu:
a) Relawan adalah bagian dari masyarakat
b) Relawan adalah kegiatan yang dapat
digabungkan dengan aktifitas harian dari masing-masing individu sehingga tidak
memberatkan dan membosankan sehingga dapat dengan mudah diadopsi dan dilakukan
c) Relawan membawa keberagaman keahlian dan spesialisasi (Staf suatu
organisasi dapat memiliki keahlian tertentu, akan tetapi dengan jumlah relawan yang
lebih banyak mereka akan membawa variasi keahlian dan spesialisasi yang juga
lebih banyak).
5. Pelayanan Tranfusi Darah
Peraturan Pemerintah Nomor 18/1980 telah
memberikan penugasan kepada PMI untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan Transfusi
Darah (UKTD). UKTD ini dilaksanakan dengan pembentukan Unit Tranfusi Darah
(UTD) PMI yang merupakan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang diatur dan bertanggung
jawab kepada PMI dimasing-masing jajarannya.
Cakupan tugas UKTD antara lain:
• Pengerahan dan pelestarian donor darah.
• Pengambilan darah donor.
• Pengolahan dan pengamanan darah.
• Penyimpanan dan pendistribusian darah.
Tugas UKTD harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya sesuai standar yang telah ditetapkan, sehingga darah yang
dihasilkan adalah darah yang keamanannya terjamin. Kelancaran pelaksanaan UKTD
sangat terkait dengan dukungan faktor ketenagaan, peralatan, dana dan sistim
pengelolaannya yang pada hakikatnya memerlukan biaya. Biaya yang dibutuhkan untuk
proses kegiatan tersebut adalah biaya pengelolaan darah (Service Cost).
Penarikan service cost atau biaya pengelolaan darah untuk pemakaian darah
dilakukan semata-mata sebagai penggantian biaya pengelolaan darah sejak darah
diambil dari donor sukarela sampai darah ditransfusikan pada orang sakit; bukan
untuk membayar darah.
Pengelolaan darah adalah tahapan kegiatan
untuk mendapatkan darah sampai dengan kondisi siap pakai yang mencakup antara
lain:
• Rekruitmen donor.
• Pengambilan darah donor.
• Pemeriksaan uji saring.
• Pemisahan darah menjadi komponen darah.
• Pemeriksaan golongan darah.
• Pemeriksaan kococokan darah donor dengan pasien.
• Penyimpanan darah.
• Biaya lain-lain.
Selain itu untuk melaksanakan proses di atas,
dibutuhkan sarana penunjang teknis dan personil seperti:
• Kantong darah.
• Peralatan untuk mengambil darah.
• Reagensia untuk memeriksa uji saring,
pemeriksaan golongan darah, kecocokan darah donor dan pasien.
• Alat-alat untuk menyimpan dan alat pemisah
darah menjadi komponen darah.
• Peralatan untuk pemeriksaan.
• Pasokan daya listrik dan personil PMI yang
ahli.
VI.
Kesimpulan
dan Saran
Kesimpulan
Ø Palang
Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang secara langsung mampu membantu
masyarakat dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial, maupun dalam hal
pertolongan pertama saat terjadinya bencana.
Ø Palang
Merah Indonesia (PMI) menerima anggota
atau relawan dari kalangan apapun dengan persyaratan mampu mengikuti
seluruh peraturan dan kegiatan PMI, seperti: mengikuti beberapa pelatihan dan
memiliki pengalaman dalam bidang penganan bencana.
Saran:
Ø Sebaiknya
banyaknya materi yang diberikan harus sebanding dengan prakteknya karena untuk
bencana sangat diperlukan pengetahuan dan skill yang terampil.
Referensi
Agus,
H. 2010. Pengurangan Resiko Bencana dan
Penanganan Bencana Erupsi merapi. Makalah disajikan dalam Seminar
Rekonstruksi Penanganan Erupsi Merapi, pada Dies Natalis ke-41 Universitas
Widya Dharma Kalten.
Muchtar,
M. 2009. Sistem Informasi Tunjangan
Fungsional Untuk Tenaga Paramedis Transfusi Darah Pada Palang Merah Indonesia
DKI Jakarta. Program Studi Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Mercu Buana. Jakarta.
Sapta, A.S. 2009. Kenali
PMI. Edisi: 1. Jakarta: Palang Merah Indonesia.
Sebastian, L. 2008. Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan
Banjir. Jurnal Teknik
Sipil.
Vol. 8, No. 2 Juli 2008: 162-169. UNSRI-Palembang.